Melihat dampak pusaran profesi desain dari ADGI Design Week 2025

Hari Minggu lalu aku mendatangi Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Aku datang ke ADGI Design Week 2025 sebagai insan profesional yang ingin melihat desain dari pusat pusaran, sambil membawa keresahan dari tempat yang lebih jauh: dari Bandung dan Garut, dari ruang-ruang yang mungkin tak terlihat, dari tempat profesi desain sering kali tidak dipahami, tidak dianggap penting, atau bahkan tidak dikenali dampaknya oleh publik.

Di perjalanan ke sana, satu pertanyaan terus bergulat di kepalaku:

di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, apakah desain benar-benar menjadi lebih relevan bagi daerah? Atau justru semakin menjauh?

Itu yang membuatku memutuskan naik travel dan datang di Minggu pagi itu: menjahit konteks yang mungkin bisa mendekatkanku pada jawaban dari pertanyaanku.

Foto Talk Session A.I Advancement: The Intelligent Design Practice

Selama menjelajahi rangkaian talk session di ADGI Design Week 2025, aku merasakan satu hal: profesi desain sedang bergeser ke begitu banyak arah sekaligus.

Di kelas A.I. Advancement: The Intelligent Design Practice, para pembicara bicara soal percepatan teknologi, singularity, dan masa depan yang sulit kita kendalikan. Tapi di balik seluruh pembahasan itu, ada satu pesan yang terus diulang: tanpa kedalaman human intelligence, AI tidak akan membawa apa-apa. Fundamental tetap perlu menjadi pemain utama.

Diskusi lain membuka dimensi yang berbeda tapi saling terhubung.
Di sesi Design & Beyond, desain dibicarakan bukan sebagai “alat estetika”, tapi sebagai profesi yang justru semakin jauh dari masyarakat. Beberapa pembicara menyinggung bagaimana desainer masih memakai bahasa yang publik tidak mengerti, dan bagaimana hal itu melahirkan kesan elitis yang merugikan profesi itu sendiri.

Foto: Round Talks Design & Beyond

Ada juga keresahan tentang generasi—anak-anak muda yang tumbuh bersama teknologi tapi kehilangan landasan berpikir. Mereka dekat dengan tools-nya, tapi jauh dari pertanyaan dasar. Cepat dalam eksekusi, tapi mudah kehilangan makna.

Di sisi lain, muncul gagasan bahwa desain tidak bisa lagi berdiri sendiri. Dunia hari ini menuntut kolaborasi lintas profesi dan cara pandang yang tidak lagi human-centric. Manusia dilihat sebagai bagian dari ekosistem, bukan pusatnya.

Semua percakapan ini—AI, fundamental, elitisme profesi, generasi, multidisiplin, hingga ekologi—membentuk lapisan-lapisan perspektif yang saling mengisi. Dan di setiap lapisan itu, keresahanku makin dalam:
ke mana sebenarnya disiplin ini ingin bergerak, dan apakah pergerakan itu menyentuh daerah?

Di tengah diskusi AI tadi, ada satu pertanyaan yang akhirnya memuncak dipikiranku. Pertanyaan itu sudah lama tinggal di kepala—tentang generasi yang tumbuh bersama teknologi, tapi sering kehilangan dasar.
Saat sesi tanya jawab dibuka, aku mengangkat tangan dan bertanya:

“Bagaimana generasi yang lahir bersama teknologi bisa menguasai fundamental desain,
kalau mereka lebih dulu belajar tools dibanding gagasan?”

Para pembicara tersenyum, seakan mereka baru saja menemukan pertanyaan yang betul-betul mengajak mereka berpikir.

Buatku, ini bukan pertanyaan teknis.
Ini keresahan paling personal—yang setiap hari kutemui di Digdeo maupun MOTE Kreatif.
Anak-anak muda yang lahir dari generasi digital, bisa membuat banyak hal, tapi tidak selalu tahu mengapa mereka membuatnya.

Dan saat mendengar jawaban-jawaban yang muncul, tiba-tiba aku merasa:
kayanya aku bertanya soal generasi, tapi sebenarnya aku sedang bertanya soal diriku sendiri—soal masa depan profesi ini di tempatku bekerja, soal apakah kedalaman desain masih mungkin bertahan di tengah percepatan yang tidak bisa kita kontrol.

Lalu Mba Zinnia Nizar, seorang Head of Apple Developer Academy dan salah satu speaker menatapku. Ruangan mendadak hening.

Pertanyaan lo, adalah masalah terbesar gue saat ini.

Orang-orang tertawa, tapi bagiku itu bukan lelucon.

Setelah jeda sekitar tujuh detik yang rasanya sangat panjang, ia melanjutkan:

“Menurut gue sih, ini tugasnya elo.”

Kalimat itu menghantam tepat di dada.

Karena benar:
Selama ini aku bertanya seolah-olah ada yang akan turun membantu dari pusat.
Seolah-olah ada sistem yang akan menjaga fundamental ini untuk generasi berikutnya.
Seolah-olah ada lembaga yang akan menjembatani jurang antara teknologi dan kedalaman.

Padahal kenyataannya sederhana:
tidak ada yang akan turun—kecuali kita sendiri.

Itu momen ketika aku sadar bahwa pergulatan ini bukan tentang AI, bukan tentang industri, bukan tentang generasi.
Pergulatanku adalah identitas:
apa peranku dalam menjaga akar disiplin ini, terutama di daerah yang sering tidak tersentuh percakapan besar desain.

Mba Zinnia menutup dengan kalimat yang lebih lugas:

Gue pikir, ini tugas lo buat bikin mereka paham fundamentalnya. Lo nya ngerti fundamentalnya gak? lo sudah mencontohkan dan mengajarkan yang bener gak? Sudah seberapa jauh lo mengajarkan pada mereka? Tugas lo nganterin mereka ke apa yang harus mereka tahu sebelum mereka jadi desainer.

Aku hanya mengangguk. Karena aku tahu itu benar.
Generasiku adalah jembatan—pengantar fondasi yang tidak tergantikan.

Foto: Zinnia Nizar, Head of Apple Developer Academy

Pulang dari ADGI Design Week, aku sampai pada satu kesadaran yang cukup jelas. Semua pembahasan tentang AI dan teknologi ternyata bukan soal siapa yang paling cepat ikut arusnya. Yang lebih terasa adalah betapa mudahnya kita kehilangan kedalaman kalau tidak dijaga.

Dan nilai sebuah disiplin ternyata bukan di seberapa modern ia berkembang, tapi seberapa jauh ia bisa benar-benar sampai ke banyak tempat.
Ilmu desain tidak akan berarti kalau hanya hidup di kota besar, sementara daerah tidak tersentuh proses tumbuhnya.

Dari situ aku mengerti bahwa kalau perkembangan desain yang sehat ingin terwujud di daerah, memang harus ada orang-orang yang hadir dan memberi dampak langsung. Mungkin itu dimulai dari diri kita sendiri.

Hal ini memang harus mulai jadi perhatian banyak insan desain. Karena akan sangat disayangkan kalau profesi ini hanya hidup di tempat teknologi terbaru dirilis, tapi tidak hidup di kepala generasi yang sedang tumbuh di daerah-daerah.

Desain akan lebih relevan kalau ia tidak hanya bergerak ke depan, tapi juga turun ke bawah—mendekat ke publik di berbagai kota.

Mungkin ini tugas generasiku.
Mungkin juga tugas siapa pun yang merasa perlu ikut menjaga.

Pertanyaanku pada pembaca sekarang sederhana:
Sekarang, mau bikin apa kita di daerah?

Tinggalkan komentar

Ryan Adnu © 2025