In search of excellence bring me into something else

Ketika berumur delapan belas, aku selalu menganggap rasa penasaran sebagai dalang dari setiap keputusan yang kuambil. Ia membentuk pandanganku tentang siapa diriku, seolah menjadi karakter tetap yang mengarahkan garis takdirku.
Ke mana pun rasa penasaran itu membawaku, di sanalah aku berada.

Rasa itu datang membawa banyak pertanyaan — tentang bagaimana menjadi sesuatu, mengapa sesuatu terjadi, dan apa maknanya bagiku. Semua pertanyaan itu berkelindan, menuntunku pada satu hal: pencarian tanpa henti.

Namun pencarian itu, tanpa kusadari, menyingkap sebuah kesadaran baru:
bahwa hidupku terasa serba kekurangan.

Kurang tahu. Kurang cakap. Kurang mencoba. Kurang paham.
Semakin mencari, semakin sadar betapa banyak yang belum kutahu.

Aku tidak pernah benar-benar mengkurasi rasa penasaranku. Aku hanya mengikutinya ke mana ia mengalir — hingga akhirnya aku mulai membaca polanya:

“Mengapa desain ini dibilang bagus?”
“Apa yang ada di pikiran sang kreator?”
“Mengapa karya ini dianggap jelek?”
“Apa sebenarnya desain yang baik itu?”

Dari sana, aku mulai menjahit makna: mungkin rasa penasaran ini bukan kebetulan, tapi petunjuk. Sebagai seseorang yang masih spiritual, aku percaya ada takdir yang menautkan diriku dengan rasa ingin tahu ini.

Dan semua itu, ujungnya, membawaku ke dunia self-improvement — pencarian terhadap apa yang benartepat, dan seharusnya dilakukan.

Aku mencari kesempurnaan dalam segala hal:

“Desain harus punya prinsip.”
“Harus pakai grid.”
“Harus punya readability tinggi.”
“Harus rapi.”
“Harus pakai metode yang benar.”

Pikiran itu wajar bagi seorang pembelajar awal: melihat kesempurnaan sebagai tujuan.

Dan memang, untuk waktu yang lama aku hidup dengan keyakinan itu.
Sampai akhirnya aku berhadapan dengan realitas.

Ternyata dunia tidak selalu menyediakan ruang ideal untuk mencipta excellence.
Aku tidak selalu bisa bekerja sendiri. Tidak semua orang berorientasi pada hal yang sama.
Ada banyak faktor X yang membuat “sempurna” terasa mustahil.

Aku mulai frustrasi.
Sinis.
Skeptis.
Aku kehilangan kepercayaan pada dunia — bahkan pada diriku sendiri.
Rasa tak berdaya itu berubah menjadi impostor syndrome:
seolah semua pencarianku hanyalah ilusi kemajuan.

Dan di situlah aku mulai sadar pada satu hal yang selama ini menjadi blind spot:
Dunia memang tidak adil — dan ia tidak dibuat untuk memenuhi kebutuhanku.

Itu adalah pintu pertama menuju pertanyaan baru.

Pencarianku pada excellence justru menuntunku pada pencarian lain: penerimaan.
Paradoks yang aneh — tapi jujur.

Ada momen ketika kita tidak bisa menang, dan justru di situlah menyerah menjadi pilihan paling logis.
Bukan menyerah karena kalah, tapi karena kita akhirnya mengerti batas.

“Your intellect has taken you far in life, but it will take you no further.
Surrender, Stephen. Silence your ego, and your power will rise.”
— The Ancient One, Doctor Strange (2016)

Kalimat itu menjelaskan segalanya.
Dunia kecil sekali dari sudut pandang egoku, tapi pada kenyataannya, dunia terlalu besar untuk kutaklukkan.

Pencarianku terhadap excellence telah membawaku jauh —
tapi juga menuntunku untuk berhenti sejenak dan menyadari:
tidak semua laut harus diarungi.

“In search of excellence” akhirnya membawaku pada pencarian yang lain —
tentang bagaimana menggunakan apa yang ada, dengan kesadaran penuh, menuju arah yang kita pilih sendiri.
Tentang wisdom — kebijaksanaan — yang lahir dari kemampuan menyadari situasi, potensi, dan keterbatasan tanpa kehilangan gairah untuk terus mencari.

Sejak itu, banyak hal berubah.
Dan mungkin, lewat tulisan-tulisan berikutnya, aku akan mencoba berbagi bagaimana pencarian itu terus berevolusi.

Terima kasih sudah membaca.
— Ryan Adnu

Ryan Adnu © 2025